Rabu, 18 September 2013

Pendidikan yang Melembutkan Hati Anak-anak Kita! (2)

Pendidikan modern kata Mohammad Iqbal, tidak mengajarkan air mata pada mata dan kesejukan di hati, inilah prahara dunia pendidikan kontemporer, kata Iqbal


Oleh: Sholih Hasyim
Anak-anak yang lahir dari pendidikan ber-adab akan melahirkan generasi-generasi tauhid
Ummat Terbaik
Sesungguhnya kata “adil” dan “adab” banyak kita temukan dalam Undang-undang kita. Bahkan dalam rumusan Pancasila yang merupakan indikator yang jelas kuatnya pengaruh pandangan Islam. Itu pula ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang muatannya khas Islam – seperti “hikmah”, “musyawarah”, “perwakilan’, - dll.
Dua kata adil dan beradab berasal dari kosa kata yang memiliki makna khusus (istidlalan), maka hanya dapat dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-alam Islam.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS:  An Nahl (16) : 90).
Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa makna adil dalam ayat ini “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembaliukan hak kepada pemiliknya dan jangan berlaku zhalim, aniaya.”
Lawan dari adil adalah zhalim, yaitu mengingkari kebenaran karena ingin mencari keuntungan duniawi, mempertahankan perbuatan yang salah, karena ada kedekatan hubungan. Maka, selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula akan aman sentosa, timbul amanat dan saling mempercayai. Jadi adil tidak identik sama rata-sama rasa.
Banyak ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Anas ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:  “Akrimu auladakum wa-ahsinu adabahum.”(Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka (HR. Ibnu Majah).
Adalah KH. Asy’ari membuka karya tulisnya “Adabul ‘Alim Wal Muta’allim” , dengan mengutip sabda Rasulullah SAW : Haqqul waladi ‘alaa waalidaihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu wa yuhsina adabahu (Hak seorang anak atas orangtuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).
Habib bin as-Syahid suatu ketika menasihati putranya, ”Ishhabil fuqohaa-a wa ta’allam minhum adabahum, fainna dzalika ahabbu ilayya min katsirin minal haditsi.”  (Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang demikian itu lebih aku senangi daripada banyak hadits).
Ibnul Mubarak pernah mengatakan ; “Nahnu ilaa qalilin minal adabi ahwaja minna ilaa katsirin minal ‘ilmi.” (Mempunyai adab sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan).
Rasulullah SAW bersabda : Tiada suatu pemberian yang paling baik dari orangtuanya kepada anaknya melebihi dari adab yang baik.”  (al Hadits).
Tiada sesuatu yang paling berat pada timbangan  seorang hamba pada hari kiamat melebihi dari akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).
Bertolak dari al-Quran dan Hadits serta perkataan para ulama di atas dapat dipahami bahwa adab sesungguhnya derivasi dari kualitas keimanan dan mutu ketaatan dalam menjalankan hukum-hukum Allah Subhanahu Wata’ala. Adab bukan sekedar sopan-santun dan unggah-ungguh (Jawa). Tetapi adab menggabungkan amal hati, amal lisan, dan amal anggota tubuh.
Bahkan, individu manusia yang terbaik adalah yang beriman dan beramal shalih (khoirul bariyyah) dan komunitas yang paling baik  (khairu ummah) adalah yang selalu mengajak kepada al-ma’ruf (kebaikan yang dikenali hati) dan mencegah dari al-nunkar (kejelekan yang diingkari hati).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk.” (QS. Al Bayyinah (98) : 7)
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS:Ali Imran (3) : 110).
Demikianlah dampak dari pendidikan yang mendahulukan adab. Anak-anak yang lahir dari pendidikan ber-adab akan melahirkan generasi-generasi tauhid yang hanya takut pada Allah semata.  Generasi bertauhid, sudah pasti sikap dan tindak-tanduknya menggetarkan dunia dan alam sekitarnya.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasulullah pernah bersabda,  “Sesungguhnya setan lari ketakutan jika bertemu Umar.”
Pertanyaannya, adakah pendidikan dan sekolah kita mampu melahirkan orang sekaliber Umar bin Khattab ini?
Sebaliknya, jika kita gagal menanamkan adab dan akhlak kepada anak-anak kita, yang lahir adalah generasi-generasi yang sesungguhnya tidak bermutu yang ujungnya justru meruntuhkan kekuatan bangsa kita yang katanya besar ini.
Sebagai penutup, ada pepatah Arab mengatakan, “Bangsa akan eksis jika akhlak penduduknya bermutu, jika akhlaknya hilang, maka ucapkanlah takziyah (ucapan selamat tinggal untuk orang yang meninggal) kepada bangsa tersebut.

Ajarkan Anak-anak Kita seperti Kisah Lukman al Hakim

Mantapkan aqidah, tanamkan rasa hormat kepada orangtua, ajarkan ahklak dan tingkah laku yang baik, kemudian ajarkan anak-anak tatanan hidup yang sesuai dengan Islam


Oleh:
 Abdul Hamid M Djamil
Ajarkan anak-anak kita lebih dini mengenal tauhid
KEMEROSOTAN ahklak nampaknya semakin merajarela dalam kehidupan sosial masyarakat Muslim hari ini, terutama di kalangan remaja. Pada mulanya kemerosotan ahklak ini hanya terjadi pada remaja-remaja yang tidak tersentuh dengan dunia pendidikan. Pada tahun  berikutnya dekandensi ahklak sudah merasuki remaja-remaja terpelajar.
Hal ini bisa dilihat dari pergaulan mereka sehari-hari. Mulai dari pergaulan bebas, mabuk-mabukan, berjudi, berzina, berpacaran, dan lain sebagainya. Kemorosotan ahklak kaum remaja semakin terlihat dengan banyaknya media-media yang mengekspos berbagai kasus negatif yang mereka lakukan.
Umumnya perbuatan buruk seseorang malu mengulangi. Dalam hal ini, seharusnya para remaja malu dengan kasus-kasus yang terkuak ke mata publik. Sekaligus timbul rasa penyesalan dan bercita-cita untuk tidak mengulangi lagi.
Tapi realitanya dengan benyaknya kasus yang terungkap, semakin semangat para remaja untuk melakukan hal-hal kejahatan. Naas!
Akibatnya sudah banyak dari remaja-remaja terpelajar yang kehilangan jati dirinya sebagai orang terdidik yang seharusnya berahklak terpuji.  Padahal ahklak inilah yang menjadi pembeda antara remaja terpelajar dengan remaja liar (baca: tidak terdidik).
Setelah terungkap kasus-kasus yang mereka lakukan, beragam kutukan pun dilemparkan atas mereka oleh berbagai pihak. Hal ini dilakukan untuk memberi arahan yang bahwa perbuatan itu tidak baik, bertentangan dengan norma agama dan sosial masyarakat. Sangat disayangkan pada hari berikutnya mereka kembali melakukan kejahatan yang sama.
Sebagai remaja terpelajar tentu bisa membedakan antara kejahatan dengan kebaikan. Sesudah melakukan kejahatan dan mendapat beragam kutukan, mereka pasti tidak akan melakukannya lagi. Mereka pasti merasa malu ketika kasus-kasus negatif terpampang ke mata publik. Namun kebanyakan remaja sekarang sama sekali tidak sadar.
Kelakuan mereka yang tak kunjung sadar itu terkadang menimbulkan beragam pertanyaan. Apakah remaja-remaja seperti itu hanya hadir sekolah untuk mengisi absensi kehadiran saja? Atau sekedar menampakan diri mereka ke mata masyarakat bahwa mereka pelajar? Ternyata tidak, kebanyakan dari mereka orang serius dalam belajar dan aktif dalam organisasi.
Sebagian orang menganggap kelakuan bejat mereka lahir dari diri mereka sendiri. Padahal jika diteliti ahklak remaja semacam ini terindikasi oleh pendidikan balianya. Karena pendidikan yang diberikan sejak kecil akan berpengaruh besar dalam pembentukan remaja seseorang.
Buruknya ahklak remaja sekarang berefek dari didikan balinya. Karena orangtua sekarang lebih memilih untuk memberikan pendidikan umum kepada anak-anaknya ketimbang pendidikan agama.
Yang kita saksikan, sejak lahir,  ilmu pertama kali yang terima anak-anak di lingkungan kita adalah cara main gadget. HP, laptop, main game, lalu cara berhitung, berbahasa Inggris, dan lain sebagainya. Karenanya jangan heran, saat ini anak-anak balita begitu lihat memainkan alat-alat komunikasi ini.
Apakah ini terlarang? Tentu tidak itu masalahnya.
Cara mendidik para orangtua zaman sekarang ini tidak seperti para orangtua zaman dahulu, di mana ketika anak lahir, sudah jauh hari ia dikenalkan dengan hakekat Tuhannya.
Para orangtua mengenalkan mereka agama dengan harapankelak akan membuatnya tidak salah arah.
Bedanya, kebanyakan orangtua zaman sekarang dalam mendidik anak sudah meniru cara Barat. Sehingga tidak heran jika pada saat remaja, anak-anak mereka berkelakuan seperti remaja-remaja Barat.
Sebagai ummat Islam pendidikan pertama yang harus diberikan kepada anak-anaknya adalah mengenalkan Allah سبحانه و تعالى  (Ilmu Tauhid). Ketika si anak sudah mengenal Allah, para orangtua yang bijak biasanya akan mengajarkan mereka cara-cara beribadat yang benar (Ilmu Fiqih). Selanjutnya diajarkan cara menjaga ibadat tersebut agar tidak sirna (Tasauf).
Jika ketiga pendidikan ini sudah ada pada diri si anak, ketika beranjak masa remaja anak-anak kita akan menjadi pribadi yang kuat. Baik baik budi pekertinya, lembut tutur katanya. Karena ketiga pendidikan di atas sudah merepresentasi bagaimana cara berintereaksi dengan Allah سبحانه و تعالى dan cara berintereaksi dengan manusia.
Pendidikan anak cara al-Quran
Dalam al-Qur’an sudah tertera cara mendidik anak serta ilmu apa pertama kali yang harus ditanamkan oleh orangtua. Banyak kisah-kisah para pendahulu kita yang sukses mendidik anak dengan metode Alquran. Sebut saja Lukmanul Hakim. Lalu pelajaran apa saja yang beliau berikan kepada anaknya?
Pertama, persoalan aqidah. Sebagaimana firman Allah," Wahai anak ku jangan sekali-kali engkau sekutukan Allah" (QS: Al-Lukman:13).
Kedua, rasa hormat kepada orangtua. Sebagai mana firman Allah;
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapakya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada ku dan ke dua ibu bapak mu, hanya kepada ku lah kembalimu." (QS: Al-Lukman: 14).
Ketiga, pendidikan moral.
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِي
Wahai anakku bila ada kebaikan yang kamu kerjakan, kecil (tidak nampak oleh pandangan mata yang zahir), yang kecil itu tersembunyi dipuncak langit, di dasar bumi yang paling dalam atau di tengah-tengah batu hitam sekalipun, Allah pasti akan mengetahuinya dan pasti akan memberikan balasan yang sedail-adilnya" (QS: Al-Lukman: 16).
Keempat, tatanan hidup si anak
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
"Wahai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah" (QS: Al-Lukman: 17).
Inilah dasar-dasar agama dalam mendidik anak yang harus diaplikasikan oleh setiap orangtua sebelum memberikan berbagai disiplin ilmu lainnya. Mantapkan aqidah, tanamkan rasa hormat kepada orangtua, ajarkan ahklak dan tingkah laku yang baik, kemudian berikan tatanan hidup yang sesuai dengan Islam.
Kalau metode pendidikan Lukmanul Hakim sudah menjadi prioritas orang-orangtuasekarang dalam mendidik anak, insya Allah anak-anak kita nantinya akan tumbuh sebagai remaja yang taat kepada Allah, patuh kepada orangtua, dan jauh dari tingkah laku yang tercela. Kita lihat saja.

Jumat, 02 Agustus 2013

Penghuni Surga Terakhir


Gurun pasir (ilustrasi)
A+ | Reset | A-
Oleh Afriza Hanifa
REPUBLIKA.CO.ID, Rasulullah SAW pernah mengisahkan perihal ghaib di akhirat kelak. Tertawa sekaligus menangis ketika mendengar salah satu kisah akhirat, yakni tentang penghuni surga terakhir. Kasih sayang dan rahmat Allah yang luas tampak dalam hikmah kisah tersebut.
Alkisah, terdapat seorang yang berada di neraka. Ia terus berusaha melewati dahsyatnya panas api neraka. Terkadang ia mampu berjalan kaki, namun sesekali terjatuh telungkup, sering kali hangus dibakar api neraka. Jatuh bangun ia berusaha melewati siksaan demi siksaan. Acap kali berhasil selangkah, ia mengharap bantuan Allah. 
Dengan tertatih dan dalam waktu yang lama, ia pun berhasil meninggalkan neraka. Segera ia berseru, "Segala puji Allah yang menyelamatkanku darimu, hai neraka!" Tentu saja, dia bersyukur, karena tak ada yang mampu melewati neraka kecuali dia.
Namun, keluar dari neraka bukan akhir dari penderitaan atas hukuman bermaksiat di dunia. Ia masih merasakan panas yang sangat dan begitu kehausan. Ia pun melihat sekeliling dan tertuju pada sebuah pohon. Namun, jaraknya sangat jauh. Ia pun meminta kepada Allah agar mendekatkannya,
"Ya Allah, mohon dekatkan aku ke pohon itu. Aku ingin berteduh di bawahnya dan meminum airnya," pinta orang itu.
Allah pun bertanya padanya, "Wahai cucu Adam, jika aku dekatkan kau ke pohon itu, apa kau akan meminta hal lain lagi kepada-Ku?" Orang itu pun segera menjawab, "Tidak wahai Rabbku, aku berjanji tidak akan meminta hal lain," ujarnya yang tak sabar menikmati keteduhan di bawah pohon setelah sekian lama dihukum di neraka.
Saat itu, pohon yang di hadapan matanya sangat menggiurkan. Allah pun mengabulkan permintaannya. Ia pun berada di bawah pohon itu, kemudian segera meminum air darinya.
 Namun setelah itu, ia kembali melihat sebatang pohon yang lebih rindang dan indah dari pohon pertama yang ia telah berteduh di bawahnya.
Melihatnya, lupa sudah janjinya. Ia kembali meminta pertolongan Allah agar didekatkan pada pohon kedua itu. "Wahai Allah, mohon dekatkan aku ke pohon itu. Aku ingin berteduh di bawahnya dan meminum airnya. Aku tidak akan meminta hal lain lagi," pintanya.
Allah pun berfirman, "Hai cucu Adam, bukankah kau telah berjanji tak akan meminta hal lain?"  Orang itu pun menjawab, "Iya, benar ya Allah, tapi kali ini saja .... Aku benar-benar tak akan meminta hal lain lagi," pintanya, merengek.
Allah pun memaklumi dan dengan kasih sayang-Nya, Allah mendekatkan orang itu ke pohon kedua. Orang itu pun dapat berteduh di pohon yang jauh lebih indah dan rindang dari pohon pertama.
Namun ternyata, pohon kedua itu berada dekat dengan pintu surga. Setiba di pohon tersebut, ia mendengar suara penghuni surga yang diliputi kebahagiaan. Apa daya, ia tak kuasa ingin memasukinya. Lagi, ia melanggar janjinya dengan Allah. Ia kembali meminta kepada Allah, ia ingin agar Allah memasukkannya ke dalam surga. 
"Ya Allah ya Rabb, masukkanlah aku ke sana," pintanya, menunjuk pada surga yang kenikmatannya tak pernah terbayang oleh manusia di bumi. 
Allah Taala pun kembali berkata, "Hai cucu Adam! Hal apa yang membuatmu puas, apakah kau ingin Aku berikan dunia dan segala isinya?!" 
Orang itu pun menjawab, "Ya Tuhanku, apakah Kau tengah mengejekku .... Tentu saja Kaulah Tuhan pemilik alam semesta," ujarnya.
Allah pun tertawa seraya berfirman, "Aku tidak mengejekmu, tapi Aku Mahakuasa mewujudkan apa yang kau inginkan."
Maka, dimasukkanlah orang itu ke dalam surga dengan rahmat dan kasih sayang-Nya. Ia pun berkumpul dengan hamba Allah yang lain yang tak pernah menyekutukan-Nya. Dia pun menjadi orang terakhir yang masuk surga, sang penghuni surga terakhir.
Kisah tersebut dikabarkan oleh Rasulullah dalam hadisnya yang diriwayatkan Imam Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas'ud. Dalam riwayat tersebut juga disebutkan bahwa Ibnu Mas'ud tertawa saat menceritakannya pada sahabat Rasulullah yang lain. Beliau tertawa saat mengisahkan bagian si penghuni surga terakhir menginginkan surga.
Saat bagian si penghuni surga terakhir berkata kepada Allah, "Ya Tuhanku, apakah Kau tengah mengejekku .... Tentu saja Kaulah Tuhan pemilik alam semesta," Ibnu Mas'ud pun tertawa. Ia berkata kepada orang-orang yang mendengar kisah itu, "Apa kalian ingin bertanya mengapa aku tertawa?" Para sahabat lain pun menjawab, "Iya, mengapa kau tertawa?" 
Ibnu Mas'ud pun menjawab, "Karena aku melihat Rasulullah tertawa (saat mengisahkan hal sama). (Saat mendengar kisah itu dari Rasulullah), aku pun bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, mengapa Anda tertawa?" Beliau pun menjawab, "Karena Tuhanku, Tuhan seluruh alam, juga tertawa," sabda Rasulullah.

Seni tadabbur Al-Qur'an (bagian 2)

Mutiara Ramadhan # 19: Seni tadabbur Al-Qur'an (bagian 2)

(Arrahmah.com) – Langkah pertama untuk mentadabburi Al-Qur’an, menurut Syaikh Isham bin Shalih al-Uwayyid dalam bukunya Fannu at-Tadabbur fil Qur’an al-Karim (Seni Tadabbur Al-Qur’an), adalah menghadirkan di dalam hati dan diri kita keyakinan penuh ~sebelum kita mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an~ bahwa Al-Qur’an adalah kekayaan paling berharga bagi kita.
Al-Qur’an adalah segalanya bagi kita. Al-Qur’an adalah ruh (nyawa), tanpanya kita adalah mayat yang berjalan. Al-Qur’an adalah cahaya, tanpanya kita buta dalam menapaki kehidupan di dunia. Al-Qur’an adalah petunjuk, tanpanya kita hanyalah binatang ternak yang tersesat.
Keyakinan itu harus kita hadirkan di dalam hati, perasaan dan pikiran kita sebelum kita mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an, untuk selanjutnya mempelajari kandungan maknanya.
Nilai dan kedudukan Al-Qur’an bisa kita perhatikan dari bagaimana Allah Ta’ala mensifati Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala mensifati Al-Qur’an dengan banyak sifat keagungan, kemuliaan, keberkahan dan kebaikan.
1. Al-Qur’an adalah al-haq [kebenaran]. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dari kitab suci [Al-Qur'an]ini adalah kebenaran. (QS. Fathir [35]: 31)
2. Al-Qur’an adalah al-huda [petunjuk]. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan kepada mereka sebuah kitab suci [Al-Qur'an], yang Kami jelaskan atas dasar ilmu sebagai petunjuk dan kasih saying bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-A’raf [7]: 52)
3. Al-Qur’an adalah al-ilmu [ilmu]. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Sekali-kali orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai engkau mengikuti ajaran agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.” Dan seandainya engkau mengikuti hawa nafsu (keinginan) mereka setelah datang ilmu [Al-Qur'an] kepadamu niscaya engkau tidak memiliki pelindung dan penolong dari sisi Allah. (QS. Al-Baqarah [2]: 120)
4. Al-Qur’an adalah al-burhan [bukti yang nyata]. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ
“Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kalian bukti yang nyata dari Rabb kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 172)
5. Al-Qur’an adalah al-muhaimin [saksi dan pemberi keputusan]. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
Dan Kami telah menurunkan kepadamu kitab suci Al-Qur’an dengan kebenaran, ia membenarkan kandungan kitab suci sebelumnya dan ia adalah muhaimin [saksi dan pemberi keputusan tentang kemurnian atau kepalsuan isi] kitab suci sebelumnya.” (QS. Al-Maidah [5]: 48)
Ibnu Abbas, Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Muhammad bin Ka’ab, Athiyah, Qatadah, Hasan al-Bashri, Atha’ al-Khurasani, As-Sudi, Abdurrahman bin Zaid dan para ulama tafsir berkata: “Makna muhaimin adalah menjadi penjaga amanat bagi kitab-kitab sebelumnya.”
Ibnu Juraij berkata: “Al-Qur’an adalah penjaga amanat bagi kitab-kitab sebelumnya. Apa yang sesuai dengan Al-Qur’an adalah kebenaran dan apa yang menyelisihi Al-Qur’an adalah kebatilan.”
Ibnu Abbas, Mujahid dan As-Sudi juga berkata “Muhaimin adalah saksi.”
Ibnu Abbas juga berkata: “Muhaimin adalah pemberi keputusan (pemimpin).” (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Karim, 3/128)  
6. Al-Qur’an adalah al-barakah [keberkahan]. Allah Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
[Al-Qur'an ini adalah] kitab suci yang telah Kami turunkan kepadamu, dengan penuh berkah…”(QS. Shad [38]: 29)
7. Al-Qur’an adalah al-mau’izhah [nasehat]. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai seluruh umat manusia, telah datang kepada kalian nasehat dari Rabb kalian…”(QS. Yunus [10]: 57)
8. Al-Qur’an adalah as-syifa’ [kesembuhan dan obat]. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai seluruh umat manusia, telah datang kepada kalian nasehat dari Rabb kalian, obat penyembuh bagi penyakit ruhani di dalam dada…”(QS. Yunus [10]: 57)
وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami telah menurunkan Al-Qur’an sebagai obat penyembuh…”(QS. Al-Isra’ [17]: 82)
9. Al-Qur’an adalah at-tadzkirah [peringatan]. Allah Ta’ala berfirman:
فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ
Maka mengapakah mereka dari peringatan Allah [Al-Qur'an} berpaling? (QS. Al-Muddatsir [74]:  49)
10. Al-Qur’an adalah an-nur [cahaya]. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
“Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kalian bukti yang nyata dari Rabb kalian dan Kami telah menurukan kepada kalian sebuah cahaya [Al-Qur'an] yang terang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 172)
11. Al-Qur’an adalah ar-rahmah [kasih sayang]. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai seluruh umat manusia, telah datang kepada kalian nasehat dari Rabb kalian, obat penyembuh bagi penyakit ruhani di dalam dada, petunjuk dan kasih saying bagi orang-orang yang beriman.”(QS. Yunus [10]: 57)
12. Al-Qur’an adalah as-shidq [kebenaran dan kejujuran]. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan orang yang datang dengan membawa kebenaran [Al-Qur'an] dan orang yang membenarkannya, maka mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Az-Zumar [39]: 33)
13. Al-Qur’an adalah al-mushaddiq [yang membenarkan]. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ
“Kitab [Al-Qur'an] yang telah Kami wahyukan kepadamu adalah kebenaran dan ia membenarkan kandungan kitab-kitab suci sebelumnya.” (QS. Fathir [35]: 31)
14. Al-Qur’an adalah al-’aliy [tinggi]. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan sesungguhnya Al-Qur’an berada di dalam kitab induk [Lauh Mahfuzh] di sisi Kami, sungguh ia bernilai tinggi dan penuh hikmah. (QS. Az-Zukkruf [43]: 3)
15. Al-Qur’an adalah al-karim [mulia]. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
Sesungguhnya ia [Al-Qur'an] adalah [kitab suci]bacaan yang mulia. (QS. Al-Waqi’ah [56]: 77)
16. Al-Qur’an adalah al-’aziz [perkasa]. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
Dan sesungguhnya ia [Al-Qur'an] benar-benar sebuah kitab suci yang perkasa. (QS. Fushilat [41]: 41)
17. Al-Qur’an adalah al-majid [agung]. Allah Ta’ala berfirman:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
Bahkan ia [Al-Qur'an] adalah [kitab suci] bacaan yang agung. (QS. Al-Buruj [85]: 21)
18. Al-Qur’an adalah al-furqan [pembeda antara kebenaran dan kebatilan]. Allah Ta’ala berfirman:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Berkah Allah Yang telah menurunkan Al-Furqan [Al-Qur'an] kepada hamba-Nya (Muhammad) agar ia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam.” (QS. Al-Furqan [25]: 1)
19. Al-Qur’an mengandung bashair [pandangan-pandangan hati yang tajam]. Allah Ta’ala berfirman:
هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Al-Qur’an ini adalah bashirah-bashirah, petunjuk dan kasih sayang bagi kaum yang yakin. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 20)
Imam Muhammad Thahir bin Asyur at-Tunisi berkata: “Bashair adalah bentuk plural dari bashirah, yaitu kemampuan akal [hati] memahami hakekat perkara-perkara.” (Muhammad Thahir al-Tunisi, At-Tahrir wa at-Tanwir fi at-Tafsir, 25/350)
20. Al-Qur’an adalah muhkam [kokoh dan penuh hikmah]. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan sesungguhnya Al-Qur’an berada di dalam kitab induk [Lauh Mahfuzh] di sisi Kami, sungguh ia bernilai tinggi dan penuh hikmah. (QS. Az-Zukkruf [43]: 3)
21. Al-Qur’an adalah mufashal [dijelaskan secara terperinci]. Allah Ta’ala berfirman:
كِتابٌ فُصِّلَتْ آياتُهُ قُرْآناً عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan secara terperinci, sebagai sebuah kitab bacaan dalam bahasa Arab bagi kaum yang mengetahui. (QS. Fushilat [41]: 3)
22. Al-Qur’an adalah ‘ajab [menakjubkan]. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقالُوا إِنَّا سَمِعْنا قُرْآناً عَجَباً
Katankalah: “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya segolongan jin mendengarkan dengan seksama [bacaan Al-Qur'an], lalu mereka mengatakan: ‘Kami telah mendengarkan bacaan yang mengagumkan’.” (QS. Al-Jin [71]: 1)
23. Al-Qur’an adalah balagh [penyampai berita dan amanat]. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِي هَذَا لَبَلاغاً لِقَوْمٍ عابِدِينَ
Sesungguhnya pada Al-Qur’an ini ada penyampaian berita gembira kepada kaum yang tekun beribadah [kepada Allah semata]. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 106)
24. Al-Qur’an adalah basyir dan nadzir [pemberi berita gembira dan pemberi berita ancaman]. Allah Ta’ala berfirman:
بَشِيراً وَنَذِيراً فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
Sebagai pemberi berita gembira [bagi kaum beriman] dan pemberi berita ancaman [bagi kaum kafir dan pelaku kemaksiatan], akan tetapi mayoritas manusia berpaling darinya sehingga mereka tidak mau mendengarkannya.”(QS. Fushilat [41]: 4)
25. Al-Qur’an adalah bayan dan tibyan [penjelasan paling terang]. Allah Ta’ala berfirman:
هَذَا بَيانٌ لِلنَّاسِ وَهُدىً وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
[Al-Qur'an] ini adalah penjelasan bagi umat manusia, juga petunuk dan nasehat bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran [3]: 138)
وَنَزَّلْنا عَلَيْكَ الْكِتابَ تِبْياناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami telah menurunkan keapdamu sebuah kitab suci [Al-Qur'an] sebagai penjelasan atas segala perkara, petunjuk, kasih sayang dan kabar gembira bagi kaum muslimin. (QS. An-Nahl [16]: 89)
Subhanallah…
Dari sebagian sifat Al-Qur’an di atas, kita akhirnya akan bisa menyadari alangkah besarnya kerugian kita ketika kita jauh dari mempelajari, mentadabburi dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan kita. Wallahu a’lam bish-shawab.

Seni tadabbur Al-Qur'an (bagian 3)


Mutiara Ramadhan # 22: Seni tadabbur Al-Qur'an (bagian 3)


(Arrahmah.com) – Langkah pertama untuk mentadabburi Al-Qur’an, menurut Syaikh Isham bin Shalih al-Uwayyid dalam bukunya Fannu at-Tadabbur fil Qur’an al-Karim (Seni Tadabbur Al-Qur’an), adalah menghadirkan di dalam hati dan diri kita keyakinan penuh ~sebelum kita mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an~ bahwa Al-Qur’an adalah kekayaan paling berharga bagi kita.
Al-Qur’an adalah segalanya bagi kita. Al-Qur’an adalah ruh (nyawa), tanpanya kita adalah mayat yang berjalan. Al-Qur’an adalah cahaya, tanpanya kita buta dalam menapaki kehidupan di dunia. Al-Qur’an adalah petunjuk, tanpanya kita hanyalah binatang ternak yang tersesat.
Keyakinan itu harus kita hadirkan di dalam hati, perasaan dan pikiran kita sebelum kita mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an, untuk selanjutnya mempelajari kandungan maknanya.
Adapun langkah kedua untuk tadabbur Al-Qur’an menurut Syaikh Isham bin Shalih al-Uwayyid adalah memahami sepenuhnya bahwa wahyu Al-Qur’an pada dasarnya ditujukan kepada hati kita. Perintah-perintah, larangan-larangan, dan kisah-kisah di dalam Al-Qur’an pertama dan terutama sekali ditujukan kepada hati kita. Hati kita adalah sasaran pertama dan utama dari firman Allah dalam Al-Qur’an.
Hati adalah unsur yang sangat penting dalam diri setiap manusia. Manusia terdiri dari unsure jasmani dan ruhani. Hati adalah aspek ruhani manusia. Hati adalah raja dari seluruh aspek jasmani manusia. Hati manusia adalah pemegang komando tertinggi atas setiap anggota tubuh nya. Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah menjelaskan kedudukan hati dalam diri setiap manusia dengan sabdanya:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ، صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ، فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah sesungguhnya pada tubuh manusia itu ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik niscaya seluruh anggota tubuh lainnya akan baik dan jika sekerat daging itu rusak, niscaya seluruh anggota tubuh lainnya akan rusak. Ketahuilah, sekerat daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)
Ada banyak dalil syar’i yang membuktikan bahwa wahyu Al-Qur’an pada pokoknya ditujukan kepada hati kita. Pertama, Al-Qur’an pertama kali diturunkan ke dalam hati.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (192) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dari sisi Rabb seluruh alam. Ia dibawa turun oleh Ar-Ruh [malaikat Jibril] yang terpercaya. Turun ke dalam hatimu [wahai Muhammad] agar engkau menjadi pemberi peringatan. [turun] dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 192-195)
Dalam ayat di atas secara tegas Allah Ta’ala menyatakan عَلَى قَلْبِكَ “turun ke dalam hatimu”. Allah Ta’ala tidak menyatakan “turun kepada pendengaranmu”, “turun kepada penglihatanmu”, “turun kepada akal pikiranmu” dan lain sebagainya. Penunjukan makna ayat di atas sangat jelas.
Allah juga berfirman Allah Ta’ala:
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ
Katakanlah: “Barangsiapa menjadi musuh bagi malaikat Jibril, maka sesungguhnya Jibril telah menurunkannya [Al-Qur'an] ke dalam hatimu dengan izin Allah Ta’ala.” (QS. Al-Baqarah [2]: 97)
Dalam ayat yang mulia ini secara tegas Allah Ta’ala juga menyatakan عَلَى قَلْبِكَ “turun ke dalam hatimu”. Penunjukan makna ayat di atas sangat jelas.
Maka anggota badan manusia yang pertama kali “diajak bicara” oleh Al-Qur’an adalah hati. Jika hati mau mendengarkan dan menerima Al-Qur’an, maka seluruh anggota badan lainnya akan ikut mendengarkan dan menerima Al-Qur’an. Adapun jika hati enggan mendengarkan dan menerima Al-Qur’an, maka seluruh anggota badan lainnya akan ikut enggan mendengarkan dan menerima Al-Qur’an.
Oleh sebab itu Allah Ta’ala telah terlebih dahulu menyiapkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam untuk menerima wahyu Al-Qur’an, sebelum Al-Qur’an itu diturunkan ke hati beliau. Saat beliau berusia kanak-kanak, Allah Ta’ala mengutus dua orang malaikat untuk membelah dada beliau, mengeluarkan gumpalan hitam yang kotor dari dalam hati beliau, mencuci hati beliau dengan air zamzam, dan mengembalikannya seperti sedia kala setelah hati beliau disucikan dari “jatah” godaan setan.
Kisah pembelahan dada beliau pada masa kanak-kanak telah disebutkan oleh semua kitab sejarah nabawiyah.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ، فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ، فَشَقَّ عَنْ قَلْبِهِ، فَاسْتَخْرَجَ الْقَلْبَ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً، فَقَالَ: هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ، ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ، ثُمَّ لَأَمَهُ، ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya saat Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa salam [masih kanak-kanak] bermain bersama anak-anak sebayanya, beliau didatangi oleh malaikat Jibril. Jibril mengambil dan membaringkan beliau di tanah, lalu membelah dada beliau dan mengeluarkan hati beliau. Maka Jibril mengeluarkan segumpal darah hitam dari dalam hati beliau. Jibril berkata: “Inilah bagian setan [untuk menggoda] dari dirimu.” Jibril lalu mencuci hati beliau dalam sebuah bejana terbuat dari emas , dengan air zam zam. Jibril kemudian memulihkan hati beliau dan mengembalikannya ke tempatnya semula. (HR. Muslim no. 162)
Sejak usia kanak-kanak, hati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah disucikan dari godaan setan. Hati yang murni dan bersih dari hawa nafsu syahwat itulah yang menjadi tempat turunnya wahyu Al-Qur’an yang mulia dan suci.
Disebutkan dalam sejarah bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum merasakan pengaruh Al-Qur’an, pertama kali adalah pada hati mereka. Al-Qur’an dengan telah menyentuh, menghentak dan menyadarkan hati mereka dari buaian kehidupan jahiliyah.
Dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya melaksanakan shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Saya mendengar beliau membaca surat Ath-Thur. Tatkala bacaan beliau sampai kepada ayat:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ (35) أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ (36)
“Apakah mereka tercipta tanpa usul-usul Ath-Thur ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri? Apakah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi? Justru sebenarnya mereka tidak yakin.” (QS. Ath-Thur [52]: 35-36)
Maka hati saya hampir-hampir copot.” (HR. Bukhari no. 4854 dan Muslim no. 463, dengan lafal Bukhari)
Bacaan ayat-ayat dalam surat Ath-Thur tersebut sangat mengguncangkan hati orang musyrik. Ayat-ayat itu begitu telak menelanjangi keengganan orang-orang musyrik untuk beribadah kepada Allah semata. Bagaimana mereka tidak mau beribadah kepada Allah semata, sementara mereka bukanlah sang pencipta diri mereka sendiri, bukan pula pencipta langit dan bumi, apalagi muncul di bumi tanpa ada Sang Pencipta sebelumnya.
Keengganan mereka beribadah kepada Allah semata bukanlah karena mereka meyakini diri mereka sebagai pencipta atau tercipta begitu saja tanpa ada asal-usulnya. Mereka tidak mau beribadah kepada Allah semata didasari oleh kesombongan dan penentangan mereka terhadap wahyu-Nya. Maka saat ayat-ayat tersebut dibacakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dalam shalat Maghrib, sahabat Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu bisa merasakan efeknya dalam jiwa beliau, sehingga hamper-hampir hati beliau copot. Subhanallah.
Saudaraku seislam dan seiman…
Para sejarawan Islam banyak meriwayatkan dampak bacaan Al-Qur’an terhadap kehidupan banyak manusia, saat Al-Qur’an telah menembus relung hati manusia yang paling dalam.
Inilah kisah taubat seorang ahli ibadah terkenal di zaman tabi’it tabi’in, Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Manshur al-Ijli. Bapakanya adalah seorang kepala pemerintahan di kota Balkh, Afghanistan. Ia hidup dalam gelimang harta. Namun ia kemudian bertaubat dan menjadi ahli ibadah setelah mendengar bacaan sebuah ayat Al-Qur’an yang menyentuh hatinya.
Yunus al-Balkhi bercerita: “Ibrahim bin Adam adalah seorang tokoh masyarakat yang terpandang. Ayahnya adalah orang yang memiliki banyak harta, pembantu, kuda tunggangan, kuda berburu dan elang-elang pemburu. Pada suatu hari saat sedang berburu di atas kudanya, Ibrahim bin Adham mendengar sebuah suara dari arah atasnya: “Wahai Ibrahim! Untuk apa permainan sia-sia ini?”
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian secara main-main [tanpa ada pertanggung jawaban di akhirat] dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun [23]: 115)
Suara itu lalu menambahkan: “Bertakwalah kepada Allah! Persiapkanlah bekal untuk menghadapi hari kesulitan!”
Mendengar suara itu, Ibrahim bin Adham pun turun dari kudanya. Ia bertaubat, bersungguh-sungguh dalam beribadah dan meninggalkan kenikmatan hidup duniawi.” (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’, 7/388)
Saudaraku seislam dan seiman…
Dan inilah kisah taubat seorang perampok besar di zaman tabi’it tabi’in, Abu Ali Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud at-Tamimi. Ia seorang perampok terkenal dan ditakuti, namun kemudian bertaubat dan menghabiskan seluruh usianya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala di Masjidil Haram setelah ia mendengar bacaan ayat Al-Qur’an yang menyentuh hatinya.
Fadhl bin Musa berkata: “Fudhail bin Iyadh adalah seorang perampok tenar yang bisa merompak di antara wilayah Abiward dan Sarkhas [Asia Tengah]. Sebab ia bertaubat adalah ia sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Suatu saat ia memanjat tembok untuk mencuri-curi pandang gadis pujaan hatinya. Tiba-tiba ia mendengar seseorang membaca ayat Al-Qur’an:  
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
“Belum tibakah saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyu’ hati mereka karena dzikir [mengingat dan menyebut nama] Allah dan kebenaran [Al-Qur'an] yang turun…” (QS. Al-Hadid [57]: 16)
Mendengar bacaan ayat tersebut, Fudhail berkata: “Ya, sudah tiba saatnya, wahai Rabbku.”
Fudhail bin Iyadh segera turun dan pergi. Kegelapan malam membuatnya beristirahat pada sebuah bangunan yang sepi dan nampak kosong. Ternyata di dalamnya ada satu rombongan pedagang yang kemalaman di jalan.
Sebagian pedagang itu berkata: “Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita.”
Namun sebagian lainnya menolak: “Jangan! Kita lanjutkan besok pagi saja, sebab di jalan ada Fudhail bin Iyadh yang bisa merampok kita.”
Mendengar ucapan rombongan itu, Fudhail bin Iyadh tertegun. Fudhail bin Iyadh bercerita:
فَفَكَّرْتُ، وَقُلْتُ: أَنَا أَسْعَى بِاللَّيْلِ فِي المَعَاصِي، وَقَوْمٌ مِنَ المُسْلِمِيْنَ هَا هُنَا يَخَافُونِي، وَمَا أَرَى اللهَ سَاقَنِي إِلَيْهِم إِلاَّ لأَرْتَدِعَ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ قَدْ تُبْتُ إِلَيْكَ، وَجَعَلْتُ تَوْبَتِي مُجَاوَرَةَ البَيْتِ الحَرَامِ.
“Aku pun berfikir. Dalam hati kukatakan: ‘Aku berjalan [bekerja] di malam hari dalam kemaksiatan, sementara sekelompok kaum muslimin berada di sini ketakutan terhadapku. Menurutku, Allah menuntunku kepada mereka semata-mata agar aku jera. Ya Allah, sesungguhnya aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku akan membuktikan taubatku dengan beribadah di dalam Masjidil Haram.” (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’, 8/423)
Saudaraku seislam dan seiman…
Kita harus senantiasa memperbaiki dan membersihkan hati kita. Itulah langkah kedua jika kita ingin mendapatkan pengaruh nyata dari ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca lafalnya dan kita pelajari kandungan maknanya. Wallahu a’lam bish-shawab.

Doa-doa "mudik lebaran" (bagian 1)

Doa-doa "mudik lebaran" (bagian 1)

(Arrahmah.com) – Sudah menjadi tradisi kaum muslimin di tanah air untuk melakukan acara “mudik lebaran” setiap tahun. Mulai pertengahan sampai akhir bulan suci Ramadhan, jutaan kaum muslimin yang bekerja di kota-kota besar dan tanah perantauan melakukan perjalan jauh “mudik lebaran”. Mereka kembali ke kampong halaman untuk merayakan hari raya Idul Fitri dan bersilaturahim dengan anggota keluarga dan sanak kerabat.
Selain sebagai sebuah tradisi, “mudik lebaran” juga bernilai ibadah manakala diniatkan untuk menyambung tali silaturahmi, berbakti kepada orang tua dan dikerjakan sesuai dengan panduan syariat Islam.
Salah satu aspek penting yang harus diperhatikan oleh para pemudik adalah tetap menjaga kontinuitas ibadah selama dalam perjalanan. Shalat wajib lima waktu secara jama’ dan qashar, membaca Al-Qur’an, berdzikir, beristighfar, dan mendengarkan taushiyah via radio, adalah sebagian ibadah mahdhah yang tetap bisa dilakukan selama dalam perjalanan.
Tentunya doa-doa selama dalam perjalanan merupakan unsur penting lainnya yang tidak boleh di lupakan. Berikut ini beberapa doa yang berkaitan dengan perjalanan jauh dan menaiki kendaraan selama “mudik lebaran”.

Doa orang yang di rumah (ditinggal bepergian jauh) kepada orang yang bepergian

أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
“Aku menitipkan agamamu, amanatmu (keluarga dan hartamu) dan penutup-penutup amalmu kepada Allah semata.” (HR. Tirmidzi no. 3443, Abu Daud no. 2600, Ibnu Majah no. 2826 dan Ahmad no. 4524, hadits shahih)
«زَوَّدَكَ اللهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ وَيَسَّرَ لَكَ حَيْثُ مَا كُنْتَ»
“Semoga Allah memberimu bekal takwa, mengampuni dosamu dan memudahkan kebaikan untukmu di manapun engkau berada.” (HR. Tirmidzi no. 3444, Al-Hakim no. 2477, dan Ibnu Khuzaimah no. 2532. Imam Tirmidzi dan Syaikh Musthafa al-A’zhami berkata: Hadits hasan)

Doa orang yang bepergian jauh kepada orang yang ditinggal bepergian (di rumah)

«أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ الَّذِي لَا تَضِيعُ وَدَائِعُهُ»
“Aku menitipkanmu kepada Allah yang titipan-titipan pada-Nya tidak akan terlantar.” (HR. Ibnu Majah no. 2825, Ahmad no. 9230, Ibnu Suni dalam Amalul Yaum wal Lailah no. 505 dan An-Nasai dalam Amalul Yaum wal Lailah no. 508. Syaikh Syuaib al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih li-ghairih)

Doa naik kendaraan

Ketika naik ke kendaraan, mengucapkan:
«بِسْمِ اللهِ»
“Dengan nama Allah”
Lalu setelah duduk di atas kendaraan, membaca doa:
«الْحَمْدُ لِلهِ»، {سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ} «الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ » «اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ » «سُبْحَانَكَ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ»
“Segala puji bagi Allah.”
“Maha Suci Allah Yang telah menundukkan kendaraan ini untuk kami dan tidaklah kami mampu menundukkannya, dan hanya kepada Rabb kami sajalah kami benar-benar akan kembali.” ~ QS. Az-Zukhruf [43]: 13-14 ~
“Segala puji bagi Allah.  Segala puji bagi Allah. Segala puji bagi Allah. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar.”
“Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang mampu mengampuni dosa-dosa selain Engkau.” (HR. Abu Daud no. 2602, Tirmidzi no. 3446 dan Ahmad no. 753. Imam Tirmidzi berkata: Hadits hasan shahih. Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata: Hadits hasan li-ghairih)

Doa saat berangkat bepergian

Setelah duduk dengan tenang di atas kendaraan dan kendaraan hendak berangkat, maka hendaknya membaca doa:
 «اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ  اللهُ أَكْبَرُ » «سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا، وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ، اللهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ، وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ»”
“Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar.”
“Segala puji bagi Allah. Maha Suci Allah Yang telah menundukkan kendaraan ini untuk kami dan tidaklah kami mampu menundukkannya, dan hanya kepada Rabb kami sajalah kami benar-benar akan kembali.” ~ QS. Az-Zukhruf [43]: 13-14 ~
“Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dalam perjalanan kami ini kebaikan, ketakwaan dan amal yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah [ringankanlah] perjalanan kami ini dan lipatkanlah [dekatkanlah] jaraknya yang jauh.
Ya Allah, Engkaulah yang menemani [orang yang berpergian selama] dalam perjalanan dan Engkaulah yang mengurusi keluarga yang ditinggalkan [oleh orang yang berpergian].
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kesulitan dalam perjalanan, pemandangan yang menyedihkan dan kondisi buruk pada keluarga dan harta saat kami kembali [tiba di tujuan].”  (HR. Muslim no. 1342, Abu Daud no. 2599 dan Tirmidzi no. 3447)

Doa saat kendaraan menanjak dan menurun

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: ” كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا، وَإِذَا هَبَطْنَا سَبَّحْنَا “
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami bepergian jauh bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Jika kami menaiki jalanan menanjak, kami membaca takbir dan jika kami menuruni jalanan yang menurun, kami membaca tasbih.”(HR. Bukhari no. 2993, Ad-Darimi no. 2674 dan Ahmad no. 14568, dengan lafal Ahmad)

Doa saat kendaraan tergelincir atau mogok

بِسْمِ اللهِ
“Dengan nama Allah.” (HR. Abu Daud no. 4982, Ahmad no. 20591, dan Al-Hakim 7792. Dishahihkan oleh imam Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan syaikh Syuaib al-Arnauth)